PONDOK PESANTREN AL-ISTIQLALIYAH
“Kualitas Seseorang Terletak pada Sejauh Mana KedekatanHubungannya dengan Sang Pencipta”
Menurut sebuah penelitian tentang
pesantren dijelaskan bahwa pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru,
dengan latar belakang euforia politik sebagai cara untuk mengisi
kemerdekaan, pesantren mengambil peran pada posisi netral dari
gesekan-gesekan kepentingan politik yang semakin kencang dalam
pergulatan bangsa Indonesia yang baru merdeka. Sikap ini kemudian
dipertegas dengan mengambil posisi sebagai perlawanan atau “bukan bagian
dari pemerintah”.
Pesantren sebagai wadah persatuan
umat harus netral dan bersih dari unsur politik dalam rangka menjaga
legitimasi moral pesantren sebagai agen dalam mentransformasikan
nilai-nilai luhur keagamaan kepada masyarakat. KH. Dimiyati yang dikenal
sebagai sosok kiai yang mandiri dalam mengembangkan pesantren, beliau
tidak mau menerima bantuan dari instansi ataupun pihak pemerintah,
mengedepankan peran serta masyarakat secara individu adalah juga bentuk
pembinaan mental bagi masyarakat. Sosok kharismatiknya sangat disegani
selain kapasitas keilmuannya yang tidak diragukan lagi.

Penolakan terhadap bantuan yang memang disediakan pada instansi pemerintah, maupun penolakan terhadapsimbol-simbol pendidikan formal lainnya, seperti ijazah juga merupakan gambaran ketulusan KH. Dimiyati sebagai pengabdian kepada Allah Swt. Bagi beliau, simbol pendidikan formal ini merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri, bukan sebagai tujuan akhirnya. Sebagai sebuah proses, pendidikan itu bersifat berkelanjutan tidak pernah berakhir sampai manusia itu meninggal dunia. Dengan demikian, tidak perlu ada “simbol-simbol” yang mencerminkan bahwa mereka telah melewati proses tersebut. Beliau meyakini bahwa kualitas seseorang terletak pada sejauh mana kedekatan hubungannya dengan Sang Penciptanya, dan bukan pada “simbol-simbol” yang dimilikinya. Lebih lanjut lagi bahwa proses belajar-mengajar yang “benar” adalah jika didasarkan atas prinsip “lillahi ta’ala”.
Pondok Pesantren Salafiyah
Al-Istiqlaliyah, berdiri sejak tahun 1957, didirikan oleh seorang ulama
besar di wilayah kabupaten Tangerang. KH. Dimiyati (almarhum) merupakan
seorang ulama yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga tradisi
kepesantrenan yang saat ini juga dilanjutkan oleh putra beliau, KH. Uci
Turtusi sejak sepeninggalnya di awal tahun 2001. Pada saat Tim Tabloid
Pondok Pesantren berkunjung ke komplek Pesantren Al-Istiqlaliyah, tidak
ada kesan istimewa dari pesantren ini, sama halnya dengan kebanyakan
pesantren di tempat lainnya. Menurut salah satu pengurus pesantren yang
kami temui, KH. Tohari (beliau adalah salah satu putra KH. Dimiyati),
pesantren salafiyah menjauhi popularitas. Bahkan menurut beliau, “kalau
perlu nama pesantrennya juga nggak usah, yang penting pelaksanaan
pengajaran ilmu-ilmu keislaman dijalankan sebaik-baiknya”, karena
pesantren merupakan wadah penyebaran agama Islam bagi masyarakat, dan
sekaligus panutan akan sikap keberagamaan bagi masyarakat sekitar.
Menjaga tradisi keislaman dengan corak sikap tasawwuf yang kental adalah
keunikan tersendiri di kalangan pesantren salafiyah.
Kampung Cilongok, desa
Sukamantri, kecamatan Pasar Kemis, berdiri di atas lahan seluas ± 4,5 ha
saat ini di lingkungan komplek pesantren terdapat tiga buah masjid dan
satu buah lagi di luar lokasi pesantren. Cukup unik karena tidak seperti
kebanyakan pesantren yang hanya memiliki satu masjid. Karena di
pesantren ini pada tiap hari ahad ba’da subuh selalu dilaksanakan
majelis akbar bagi masyarakat luas yang langsung dipimpin oleh Abah Uci
(begitu KH. Uci Turtusi akrab dipanggil). Tradisi ini telah berlangsung
lama sejak masa kepemimpinan KH. Dimiyati. Jumlah jamaah yang mengikuti
pengajian inipun sangat banyak, tidak kurangnya dari 5.000 orang datang
dari sekitar wilayah Tangerang, Banten, Bogor, Bekasi dan juga Jakarta.
Pada majelis akbar tersebut,
materi yang diberikan lebih mengarah kepada bimbingan kerohanian, etika
keagamaan dan nasehat-nasehat yang menenangkan bagi masyarakat. Hal ini
menjadi kebutuhan spiritual bagi masyarakat luas terutama di wilayah
Tangerang. Tidak hanya sekedar untuk mengaji, kehadiran masyarakat pada
saat majelis akbar tersebut juga tidak lepas dari kebesaran sosok Abah
Uci sebagai ulama kharismatik yang dikenal memiliki kedalaman ilmu agama
dan keberkahan sebagai seorang ulama, tidak jarang seusai pengajian
para tamu yang hadir meminta keberkahan untuk dido’akan dan menyampaikan
persoalan-persoalan mereka untuk diberi bimbingan dan jalan keluar oleh
Abah Uci.
Berada di tengah-tengah masyarakat modern dengan lanscape kota
industri, tidak menggoyahkan prinsip pesantren ini dalam menjaga
tradisi salafiyah. Kesan tradisional Pesantren Al-Istiqlaliyah tampak
jelas dalam manajerial pondok yang masih mempertahankan sistem
kekeluargaan. Pengelolaan pesantren dilakukan oleh keluarga besar
almarhum KH. Dimiyati dengan amanah kepemimpinan yang dipegang langsung
oleh Abah Uci (dibantu juga oleh keluarga). Tak ada sistem penerimaan
santri, dalam artian penerimaan santri terbuka untuk semua kalangan usia
dari mulai anak-anak hingga dewasa. Administrasipun tidak dibebankan
kepada para santri yang menuntut ilmu di pesantren ini, mereka hanya
diminta iuran listrik Rp. 5.000,- per-bulan. Sementara dalam
pembalajaranpun tidak ada penjenjangan, para santri dibebaskan untuk
mengikuti pengajian kitab-kitab kuning yang diajarkan oleh kiai dan
asatidz di pesantren ini.

Sarana dan kegiatan santri
Saat ini, dengan jumlah ± 400
santri, Pesantren Al-Istiqlaliyah secara mandiri telah membangun sarana
dan prasarana penunjang bagi keberlangsungan pendidikan di pesantren.
Asrama santri dalam bentuk kobong-kobong dan dikepalai oleh seorang
lurah pada setiap lokalnya telah banyak didirikan memenuhi areal komplek
pesantren, serta aula untuk pelaksanaan pengajian harian yang
dilaksanakan ba’da subuh dan ba’da ashar hingga larut malam. Untuk
keperluan memasak disediakan dapur umum di masing-masing lokal asrama
santri.
Seperti pada pesantren-pesantren
kebanyakan, kegiatan bagi santri di Pesantren Al-Istiqlaliyah juga
dimulai sejak subuh dengan sholat berjamaah. Sehabis jamaah subuh
dilanjutkan dengan pengajian kitab kuning di majelis hingga menjelang
pukul 07.00. Selanjutnya para santri memasak untuk sarapan pagi. Pada
pukul 08.00, kegiatan pengajian dilanjutkan sampai pukul 10.00. setelah
itu, santri diberikan waktu untuk beristirahat di kobong dan pekarangan
pesantren. Pada pukul 14.00 pengajian dilanjutkan kembali sampai masuk
waktu ashar dan berjamaah. Setelah ashar pengajian disambung kembali
sampai pukul 17.30. Setelah maghrib, giliran pengajian al-Qur’an
dilaksanakan. Kemudian setelah isya’, para santri belajar kembali selama
90 menit sebelum kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat.
Kegiatan mereka begitu padat dan berlangsung secara terus-menerus selama
satu minggu, kecuali pada hari ahad pagi, karena waktunya digunakan
untuk pelaksanaan majelis akbar yang diikuti oleh masyarakat luas.
Kurikulum pendidikan yang ada di
pesantren salafiyah ini tidak mengikat dan bukan dalam bentuk materi
pelajaran, melainkan didasarkan pada kajian kitab kuning (kutub at-turots) serta dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu bahasa (nahwu shorof),
fiqh, akhlaq, tasawwuf, tafsir, hadits dan ulumul Qur’an dengan kitab
kitab seperti Shahih Muslim, Dzam’ul Jawami, Jauharul Maknun, Fathul
Mu’in, Kifayatul Akhyar, Alfiyah, Tafsir Jalalain, dan lain sebagainya,
semuanya disampaikan dalam metode pengajaran sorogan.
Hingga saat ini, di tengah arus
perubahan masyarakat sebagai dampak modernisasi dan globalisasi,
keberadaan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah di tengah masyarakat semakin
kuat pengaruhnya. Hal ini bisa terjadi karena konsistensi yang
diterapkan para pengelola pesantren untuk tetap berada pada jalur
pelayanan bimbingan keagamaan bagi masyarakat tanpa berkecimpung pada
hingar-bingar dunia politik yang semu. Dengan demikian, bermodalkan
kemandirian dan keikhlasan dalam menjalankan fungsi pencerahannya,
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah bisa terus berkiprah sebagai benteng
moralitas masyarakat dari pengaruh modernisasi dan globalisasi.

Bagi masyarakat Tangerang dan sekitarnya, keberadaan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pesantren Cilongok sudah tidak asing lagi. Setiap hari ahad pagi, ribuan orang dari berbagai wilayah Tangerang dan sekitarnya memadati komplek pesantren untuk mendengarkan siraman rohani dan pengajian kitab yang disampaikan oleh pimpinan pesantren, Abah Uci. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan antusiasme masyarakat semakin hari semakin besar untuk menghadiri kegiatan majelis ini, di samping pada saat pelaksanaan hari-hari besar Islam juga demikian. Kegiatan ini selain diisi dengan siraman rohani dan ceramah keagamaan juga menjadi semacam wadah silaturrahmi antar masyarakat dari berbagai kalangan di wilayah Tangerang dan sekitarnya. Peran pesantren dalam memberikan pembinaan mental spiritual sangat terlihat dalam hal ini, dan inilah yang dipertahankan oleh kalangan pesantren salafiyah, sebagai komunitas keagamaan yang menjadi panutan masyarakat yang bersih dari unsur kepentingan politik kelompok ataupun kekuasaan. [HI]
Pemutakhiran Terakhir
No comments:
Post a Comment